Senin, 26 Juli 2021

Isolasiku untuk Sehatmu




Tulisan ini bukan karena ingin seperti yang lain

Atau karena ingin biar eksis

Apalagi ditujukan untuk membuat keresahan 

Yang jelas ini bagian dari aliran rasa untuk meluapkan makna.


FYI … harusnya tanggal 23 Juli kemarin adalah hari dimana saatnya kami memperingati hari bersejarah di keluarga. Milad pernikahan yang ke 21. 


Qadarullah … di hari itu pula kami terpilih untuk bertemu dengan Covid 19 dan pasukannya. Bukti tanda cintaNya agar kami senantiasa mengingatNya. Sebuah pelajaran yang penuh arti. Penguat hometeam keluarga kami untuk lebih mengasihi. Kebetulan sampai saat ini kami masih full team di rumah. Dul dan Do yang sekiranya dijadwalkan harus kembali ke pondok, kembali tertunda karena adanya PPKM. Mungkin inilah rencana Allah yang mengharuskan kami saling memperhatikan dan melayani dengan sepenuh hati. Melewati masa isolasi mandiri bersama keluarga terkasih dalam ketenangan hati.


Berawal dari Mas Bojo yang mengeluh pusing dan sariawan di pagi hari. Malamnya tetiba beliau merasakan flu ringan. Saat itu aku sudah curiga, tak biasa ini. Terlebih di keluarga besar yang di kota semuanya sakit. Wallahu alam apakah Covid atau bukan karena mereka hanya bilang seluruh badan lemas. Sebelumnya, Mas Bojo sendiri setiap pulang kerja atau saat istirahat pasti mampir di rumah mereka. Namun husnudzon saja karena kebetulan ada tamu saudara yang kebetulan dokter. Jadi keluarga mereka pasti terkondisi. Qadarullah … tamu tersebut juga sakit.


Melihat kondisi Mas Bojo, aku langsung ambil tindakan mengisolasi beliau, pisah tidur, pisah alat makan dan meminimalkan kontak dengan beliau. Sebenarnya mulai curiga Mas Bojo mulai terinfeksi, namun perlu melihat gejala lebih lanjut. Sambil terus mengobservasi kondisi kuberikan obat pereda nyeri termasuk mengobati sariawannya.


Mungkin ada yang bertanya, kenapa gak langsung tes rapid atau SWAB?


Apakah takut dicovidne?


Nauzubillah tentu big no, kenapa harus takut? Namun setiap pihak pasti memiliki kesulitannya sendiri.


Dalam hal ini, setelah berdiskusi dengan Mas Bojo, kami ambil pertimbangan sebagai berikut; kami tinggal di puncak gunung. Sebenarnya aku sudah berusaha mencari layanan tes yang bisa kerumah tetapi ternyata memang kabupaten tempatku tinggal belum menyediakan. Satu-satunya ya harus ke Puskesmas atau ke kota.


Alasan kami menunda tes cukup sederhana, kami menghindari kontak dengan orang lain. Jadi kami tunggu gejala lanjutan sambil observasi. Bukan sok kuat atau sok tahu, melainkan karena aku pribadi sering berurusan dengan rumah sakit jadi tahu bagaimana harus ambil tindakan. Beberapa obat seperti parasetamol, obat flu dan multivitamin sudah tersedia di rumah. Alhamdulillah... itu cukup membuat hati tenang.


Dan akhirnya tepat di hari keempat aku mengisolasi Mas Bojo, Da, anak pertama mulai mengeluh pusing dan deman. Siangnya giliran Dul, si tengah, merasakan flu dan demam. Sore harinya Mas Bojo mengaku sudah mulai kehilangan indera penciuman. Langsung dalam semalam mereka bertiga isolasi di ruang tamu dan kamarku yang kebetulan berdekatan.


Fixed...

Aku harus lapor Bu Bidan, agar didaftarkan ikut tes SWAB sekeluarga di Puskesmas. Alhamdulillah ternyata ada jadwal di keesokan harinya. Langsung saat itu juga aku izin untuk tidak masuk kerja ke pimpinan kantor dan lapor ke pemangku masyarakat terkait kondisi terakhir kami. Termasuk mengkondisikan pakde (kakaknya suami) yang prinsip dan pandangannya tentang Covid jauh bertolak belakang dengan keluarga inti kami. Pakde ini tinggal satu rumah dengan kami.


Dengan pengakuanku, apapun penerimaan mereka, kami siap. Mungkin akan ada yang mengucilkan namun pasti ada pula yang meringankan beban kami. Mungkin akan ada yang membenci namun pasti akan ada yang berempati. Apalah penilaian manusia dibanding keinginan kami untuk ikhlas dan tetap tenang menerima ketentuanNya.


Biarlah aku dianggap membuat kericuhan dan keresahan di tengah warga. Karena sejatinya tujuanku hanya ingin menyadarkan masyarakat agar waspada. 


Covid itu nyata gaes…!!!

Dan satupun dari kita tak ada yang bakalan tahu kalau terpilih sebagai penyintas.


Ok.... Maafkan aku jika mengambil langkah ini tanpa berkonsultasi dengan para pemangku di desa. Bagiku ini soal fakta dan data yang tak bisa lagi direkayasa. Jadi aku tak ingin melapor jika kami sedang baik-baik saja.


Aku tahu, dalam hal ini semua pihak memiliki kesulitan masing-masing. Pengakuanku memang akan menambah merahnya data yang mungkin, sedemikian rupa sehingga, dijaga agar tidak membara. 


Tapi ini adalah ikhtiar, mengingat kami sekeluarga hampir semuanya mempunyai komorbid. Mas Bojo dan Dul punya riwayat Asma, aku sendiri menyandang Aritmia jantung sejak masih muda dulu.


Jikalau kami tidak melapor untuk mengikuti SWAB, tak menutup kemungkinan kami akan menjadi terlapor. Hanya dengan melapor maka kami merasa tenang. Kami berikhtiar mengisolasi diri adalah proses menjaga lingkungan dari merajalelanya Covid 19 dan pasukannya. Apapun hasilnya kami tunduk pada ketentuanNya karena apa yang baik menurut kita belum tentu yang terbaik menurut Allah.


Terimakasih kepada beberapa pihak yang telah memaklumi kondisi kami dan terus memberikan do'a, support dan bantuan. Kami sadar kami tak bisa sendirian dalam mengatasi ujian ini. 



Pohon talok ini kelak adalah pohon bersejarah, tempat kami berkomunikasi dan berinteraksi dengan warga selama isoman.



Penyintas Covid bukan aib yang membuat malu.

Kini bangsaku semakin pilu. 

Isolasiku adalah demi untuk sehatmu. 

Ayo saling membahu agar cobaan ini segera berlalu.


Yani si BuPer

26 Juli 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar