Minggu, 23 Oktober 2016

Status Ustadz Harry Santosa

Heran jika sampai saat ini negara masih keras kepala memaksakan semua jalur pendidikan harus formal, yaitu harus melalui jalur persekolahan formal nasional dengan ujian nasionalnya, lalu hanya jalur formal dan yang setara yang boleh masuk PTN.
Arogansi ini memiliki berbagai alasan politis bukan edukatif. Alasan politiknya adalah negara harus bisa mengatur dan mengendalikan pendidikan secara terpusat, dan yang bisa dikendalikan adalah pendidikan formal.
Sesungguhnya ini juga berangkat dari bahwa Negara tidak percaya kepada penyelenggara pendidikan informal, bahkan menyebutnya alternatif seolah pilihan terakhir. Padahal semua jalur pendidikan adalah alternatif, baik formal, non formal maupun informal..
Misalnya negara secara sepihak menetapkan ukuran wajib belajar 9 tahun sebagai wajib bersekolah di sekolah formal atau pendidikan formal. Di Amerika, program "no left child behind", dikritik keras sebagai program untuk mengokohkan kendali negara atas pendidikan.
Padahal UU Sisdiknas 2003, negara seharusnya menjamin pendidikan formal, non formal dan informal. Artinya semua jalur pendidikan seharus difasilitasi, diperkuat dan dipercaya. Pemisahan kementerian pendidikan dini dasar, menengah dengan kementerian perguruan tinggi dan riset, seharusnya disikapi dengan dibolehkannya semua jalur pendidikan masuk ke perguruan tinggi tanpa harus disetarakan dulu ke jalur formal.
Secara definisi, pendidikan formal atau yang kita kenal dengan persekolahan nasional adalah sistem pendidikan yang terstruktur dan berjenjang. Sementara pendidikan non formal dikatakan sebagai pendidikan yang dapat terstruktur dan berjenjang, sehingga di tataran praktis isinya kebanyakan adalah PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar) yang programnya adalah Paket Kesetaraan untuk SD, SMP dan SMA atau disebut paket kesetaraan A,B dan C. Setara maksudnya adalah setara dengan pendidikan formal.
Lalu bagaimana pendidikan Informal? Jalur pendidikan informal, adalah pendidikan yang diselenggarakan keluarga dan komunitas. Biasanya membawahi para praktisi HS (home schooling) dan HE (home education) termasuk CBE (Community based Education). Jalur ini dianggap ancaman dan mengganggu kendali negara atas pendidikan.
Jadi berbagai Peraturan Menteri Pendidikan diupayakan mengarahkan (memaksa) agar jalur informal ini masuk ke jalur pendidikan non formal agar dibolehkan mendapat ijasah kesetaraan formal sehingga anak anak HS dan HE bisa masuk ke perguruan tinggi. Walhasil hampir semua penyelenggara HS disibukkan oleh mengejar paket kesetaraan formal.
Nagara barangkali lupa Borok dan Buruknya Sistem Persekolahan Formal
Jalur pendidikan formal atau kita kenal dengan sistem persekolahan formal nasional dikenal sejak lama sebagai model pendidikan yang memberhalakan prestasi akademis bukan mengutamakan kodrat manusia dan perkembangannya. Maka penyakit dan krisis yang diakibatkan oleh pendidikan formal adalah lemahnya kreatifitas, hilangnya potensi bakat anak anak, anjloknya karakter dsbnya.
Karena memberhalakan prestasi akademis sampai sampai pendidikan karakterpun ditempelkan ke akademis, maka kita kenal hal yang paling aneh dalam dunia pendidikan, yaitu matematika berkarakter, fisika berkarakter dstnya. Sejujurnya karakter sama sekali tidak terbangun di pendidikan formal. Padahal karakter akan mudah dibangun jika potensi unik anak tergali dan terkembangkan.
Maka gagalnya sekolah formal membentuk karakter dengan mudah bisa dilihat pada derivasi kemerosotan akhlak siswa Indoensia yang muncul dalam banyak kasus, seperti tawuran, bully, depresi, bunuh diri, manipulasi dstnya.
Issue Nasional
Remaja bangsa ini sangat rentan berbagai kerusakan moral spt pornografi, narkoba, LGBT dsbnya, sebagai akibat sistem pendidikan formal yang memberhakakan prestasi akademis. Yang dihasilkan sistem pendidikan formal adalah "human doing" dan setinggi tingginya adalah "human thinking". Padahal sebuah sistem pendidikan seharusnya melahirkan "human being" atau insan kamil, manusia seutuhnya sesuai fitrahnya.
Remaja putus sekolah, terutama di daerah pinggiran (sub urban) dan di perdesaan sudah dalam angka yang sangat besar. Model pendidikan formal membuat anak anak pinggiran merasakan sebagai beban karena selain mahal juga mereka menyadari terlalu panjang untuk dapat membuat mereka mampu mandiri membantu orangtuanya mencari nafkah. Begitupula di desa desa, model pendidikan formal membuat anak anak desa tak mampu membangun desanya dan dipastikan menjadi urban di kota besar.
Solusi
Seharusnya Negara Indonesia dalam hal ini pembuat kebijakan pendidikan segera insyaf. Sistem pendidikan formal yang memberhalakan akademis dan menyeragamkan anak anak Indonesia dari Sabang sampai Merauke adalah sistem pendidikan yang tidak bersyukur kepada karunia Allah berupa fitrah manusia, potensi keunikan alam, potensi kekuatan masyarakat dan kearifan lokal atau keyakinan yang dianutnya.
Wahai Negara, beri jalan dan fasilitasi pendidikan informal yang berbasis rumah, komunitas dan desa untuk tumbuh dan berkembang sesuai kodratnya masing masing. Fasilitasi saja agar anak anak dapat tumbuh sesuai potensi fitrahnya, agar keluarga, komunitas dan desa juga tumbuh sesuai potensi kodratnya. Jadikan kampus dan PTN sebagai tempat riset bagi siapapun terutama anak anak desa yang ingin melakukan riset agar mampu membangun desanya.
Jika 70.000 desa bangkit hebat sesuai kodratnya begitupula 36 juta anak Indonesia bangkit dengan potensinya maka negeri ini akan dicatat sebagai negeri paling bersyukur di muka bumi dan Allah akan tambahkan nikmat nikmatNya.
Jika negara masih arogan dengan mengutamakan sistem pendidikan formal dengan penyeragaman dan akademisnya maka silahkan saja, karena cepat atau lambat sistem persekolahan formal akan ditinggalkan orang.
Salam Pendidikan Peradaban
#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar