Minggu, 23 Oktober 2016

Koreksi atas pendidikan yang Berorientasi Mencetak Cendekiawan Muslim


Entah karena pragmatis atau pesimis, ada yang mengatakan bahwa semua model pendidikan itu baik, hanya bagaimana prosesnya saja. Benarkah?
Era 80an di Indonesia, muncul demam gagasan dan keinginan untuk melahirkan Cendekiawan Muslim. Visinya adalah mencetak generasi yang berhati Mekkah dan berotak Jerman.
Maka dari gagasan itu lahirlah konsep pendidikan berbasis IMTAQ dan IPTEK disusul menjamurnya berbagai lembaga persekolahan Islam yang mengusung konsep tersebut untuk mencetak cendekiawan muslim.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, cendekia diartikan orang yang lekas mengerti, cerdas, pandai, lekas mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar. Penambahan kata "Muslim" menegaskan bahwa cendekiawan ini adalah Muslim yang sejatinya dipandu oleh Kitabullah.
Tiga dekade lebih setelah demam itu, kini bangsa ini menyaksikan, memang banyak cendekiawan muslim lahir bergelar professor dan doktor, namun sayangnya kehadirannya tidak banyak membawa perubahan berarti pada bangsa ini.
Yang terjadi justru sebaliknya. Krisis kepemimpinan terjadi dimana mana, para cendekiawan itu umumnya tidak menyentuh akar masalah negeri ini, desa desa tetap saja merana dan potensi daerah terbengkalai, generasi rentan narkoba, pornografi, LGBT, punk muncul dimana mana dstnya. Secara moral bahkan beberapa cendekiawan muslim terlibat kasus korupsi bahkan perdukunan, mereka tidak mampu menjadi role model bagi generasi muda dstnya.
Ternyata sistem pendidikan yang melahirkan orang pandai Sains dan pandai Agama bukan solusinya. Krisis manusia dan krisis alam terbukti tidak terselesaikan oleh lahirnya orang orang pandai cendekia bahkan tambah parah.
Nampaknya kaum Muslimin di negeri ini harus mereformasi bahkan merevolusi model atau sistem pendidikannya secara mengakar dan menyeluruh serta jauh lebih bermakna. Harus ada sekelompok ulama yang terpercaya merumuskan sistem pendidikan sejati yang terbaik dan lebih bermakna. Bukan sekedar kesimpulan perorangan dan sekedar pengamatan sejarah dan siroh.
MIndset mencetak "orang elite pandai atau cendekia" ini juga melanda dunia. Namun para elite cendekia ini dianggap sebagai penyebab parahnya krisis alam dan krisis manusia di planet bumi.
Sebuah penelitian mengenai 19 tamatan terbaik HARVARD sebuah sekolah papan atas (Ivy League) di Amerika. Selama 15 tahun perjalanan mereka setelah tamat kuliah diteliti. Ternyata sebagian mereka masuk penjara, sebagian membawa perusahaan ke arah kebangkrutan, bahkan ada yang bunuh diri dan hidupnya menderita. Lalu apakah pendidikan yang memberhalakan prestasi akademis seperti ini yang diagung-agungkan dunia?
Para pakar psikologi pendidikan dan manajemen di Barat, sekarang telah menyesal karena arah pendidikan mereka selama ini melupakan konsep penting bahwa manusia adalah HUMAN BEING bukan HUMAN HAVING untuk memperoleh prestasi akademis mendapat nilai bagus, mendapat jabatan bagus mendapat uang banyak dan lain sebagainya tanpa mengindahkan HUMAN BEING nya atau Fitrahnya atau makna keberadaannya secara spiritual.
Ada sebuah konferensi bernama Academy of Management conference di Anaheim California, yang dihadiri hampir 10 ribu orang profesor dari 88 negara. Tema dari conference adalah Meaningful Organization.
Intinya adalah mereka sekarang menyadari bahwa sistem pendidikan dunia yang dipengaruhi oleh Barat, telah kehilangan makna. Saat seseorang belajar untuk suatu pencapaian semu karena tidak lagi sarat makna (Meaning).
Mereka tercerabut dari hakikat manusia sebagai HUMAN BEING, sistem pendidikan telah mencetak mereka mereka menjadi HUMAN THINKING ataupun HUMAN DOING. Sistem pendidikan yang memuja kecerdasan untuk melakukan keterampilan dan menerima pengetahuan baik umum maupun agama hanya melahirkan human thinking dan human doing bukan human being yang selaras fitrahnya.
HUMAN BEING ini artinya manusia adalah makhluk spiritual yang selalu merefleksikan segala sesuatunya dengan karunia Tuhan berupa kesadaran potensi fitrah mereka dan makna/alasan keberadaan mereka di dunia yang membedakan mereka dengan hewan dan makhluk lainnya.
Di Amerika bahkan kini muncul gerakan yang luar biasa ke arah full MINDFULNESS atau manusia dalam setiap perkataan tindakan dan pikiran selalu dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa kita sebagai makhluk Tuhan adalah bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta, dan kekuatan kita adalah dari kebajikan yang kita lakukan terhadap diri kita, terhadap orang-orang di sekeliling kita, masyarakat, lingkungan dan alam semesta. Ini dalam terminologi Islam dikatakan "menjadi rahmatan lil alamin - rahmat bagi semesta alam"
Padahal di dalam Islam, kita mengenal konsep pendidikan bernama Tarbiyah dan Ta'dib. Pendidikan Islam ini sesungguhnya adalah bagaimana orangtua maupun pendidik melakukan proses untuk membangkitkan kesadaran fitrah, membuka hijab kalbu anak didiknya untuk memahami makna kehidupan, mengungkap rahasia Ilahiyah dibalik makna penciptaan Manusia sehingga menyadari misi dan perannya di dunia.
Dengan demikian tidak ada dualisme dalam konsep pendidikan. Artinya semua pelajaran haruslah ada unsur spiritualism embedded dalam pemahamannya, yaitu mengokohkan makna dan misi kehidupan manusia sebagaimana yang Allah kehendaki.
Pendidikan seharusnya membuka titik kesadaran atau hijab kalbu anak-anak di sekeliling kita untuk melihat dan merasakan keindahan makna kehidupan dan mengembalikan mereka kepada fitrah manusia sebagai HUMAN BEING
Selama ini kita mendidik anak anak kita menjadi Human Having dan Human Doing, yang memberhalakan nilai akademis berdasarkan konsep-konsep hafalan sains dan agama yang tidak mengembalikan fitrah mereka dan membuka hijab kalbu mereka.
Anak anak yang tidak mampu "doing" dan "having" alias tidak cerdas akademis dan nakal dianggap anak gagal dan harus dicampakkan. Anak anak yang menjerit dan megap megap karena dipaksa untuk menelan konten akademis, lalu muncul menjadi perilaku buruk, sikap nakal dan over acting, lantas makin disingkirkan dan dihukum atas nama kedisplinan seorang cendekiawan.
Orangtua dan pendidik yang tidak pernah menjadi "human being" karena fitrahnya tidak tumbuh baik dan memberhalakan kecerdasan, maka tidak pernah melihat cahaya anak anaknya. Mereka tidak mampu melihat ada "pahlawan" dalam diri anak anaknya.
Semestinya konten keterampilan dan pengetahuan bukanlah isi kurikulum pokok pendidikan kita, karena tugas orangtua dan pendidik bukanlah terlalu banyak mengajarkan keterampilan dan pengetahuan namun mengembalikan dan membangkitkan gairah potensi fitrah anak anak.
Di zaman informasi seperti ini anak anak akan dengan mudah mendapat akses keterampilan dan pengetahuan yang berlimpah dari manapun, mereka juga dapat memperoleh guru guru kehidupan dengan mudah. Apabila fitrah mereka tumbuh paripuna, maka apapun keterampilan dan pengetahuannya maka akan semakin mengokohkan fitrah keimanan, fitrah belajar, fitrah bakat dsbnya yang kelak menjadi peran peran terbaik yang bermakna, karena pendidikan akan selalu membuka mata mereka akan keagungan Sang Pencipta serta maksud penciptaan dibalik semua hal-hal yang saintifik yang begitu sempurna dan membawa mereka ke arah kembali kepada fitrahnya.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#fitrahbasededucation

Tidak ada komentar:

Posting Komentar